TULISAN 1
1. Hak eksklusif Pencipta atau Pemegang
Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi
tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu
ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk
membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak
cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis
karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat
mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis
(tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar,
patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam
yurisdiksi tertentu) desain industri.
Hak cipta merupakan salah satu jenis hak
kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan
intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas
penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk
melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukan
cipta)
Paten adalah hak eksklusif yang
diberikan oleh Negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi,
yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau
memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun
2001, ps. 1, ay. 1)
Sementara itu, arti Invensi dan Inventor
(yang terdapat dalam pengertian di atas, juga menurut undang-undang tersebut,
adalah):
Invensi adalah ide Inventor yang
dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang
teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan
produk atau proses. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 2)
Inventor adalah seorang yang secara
sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang
dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. (UU 14 tahun 2001, ps.
1, ay. 3)
Kata paten, berasal dari bahasa inggris
patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk
pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat
keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada
individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri,
konsep paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan
masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode
tertentu. Mengingat pemberian paten tidak mengatur siapa yang harus melakukan invensi
yang dipatenkan, sistem paten tidak dianggap sebagai hak monopoli.
(Wikipedia. Hak Cipta.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hak_cipta)
(Wikipedia. Paten.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Paten)
TULISAN 2
2. -undang
undang yang mengatur hak cipta
UU Nomor 19
tahun 2002 secara khusus mengatur hak cipta atas foto dalam pasal 19 – 23,
selain itu UU ini juga mengatuer hak pemerintah indonesia untuk memanfaatkan
atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak karya yang memiliki hak ciota demi
kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18) atau sebaliknya
melarang penyebatan ciptaan yang apabila di umumkan dapat merendahkan nilai-
nilai keagamaan atau menimbulkan masalah kesukuan atau ras, keamanan negara,
bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat dan
ketertiban umum (pasal 17).
Perlindungan
Hukum Terhadap Hak Cipta
Barang-barang
yang diproduksi palsu dan dijual ke pasar, selain merugikan bagi penerimaan
royalti para pencipta juga mengurangi pendapatan pajak negara dan penurunan
kualitas barang yang dapat dinikmati oleh masyarakat konsumen. Kerugian ini
jelas harus ditanggulangi dengan melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak
cipta tersebut sehingga dapat tercipta perlindungan yang diharapkan oleh semua
pihak, terutama para pencipta/pemegang izin. Daya kreatif dan inovatif para
pencipta akan mengalami penurunan, jika pelanggaran hak cipta terus berlangsung
tanpa ada penegakan hukum yang memadai dengan menindak para pelakunya. Negara
melalui aparat penegak hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung harus
bertanggung jawab dengan adanya peristiwa ini dengan berupaya keras melakukan
penang-gulangan merebaknya pelanggaran hak cipta. Apabila tidak ada penegakan
hukum yang konsisten terhadap para pelanggar, maka akan sulit terwujudnya suatu
perlindungan hukum terhadap hak cipta yang baik. Masalah ini telah menjadi
tuntutan masyarakat internasional terhadap bangsa dan negara Indonesia yang
dinilai masih rendah untuk menghargai HAKI. Pengaturan standar minimum perlindungan
hukum atas ciptaan-ciptaan, hak-hak pencipta dan jangka waktu perlindungan
dalam Konvensi Bern adalah sebagai berikut. Pertama, ciptaan yang dilindungi
adalah semua ciptaan di bidang sastra, ilmu pengetahuan dan seni dalam bentuk
apa pun perwujudannya. Kedua, kecuali jika ditentukan dengan cara reservasi,
pembatasan atau pengecualian yang tergolong sebagai hak-hak ekslusif seperti
(a) hak untuk menerjemahkan, (b) hak mempertun-jukkan di muka umum ciptaan
drama musik dan ciptaan musik, (c) hak mendeklamasikan di muka umum suatu
ciptaan sastra, (d) hak penyiaran, (e) hak membuat reproduksi dengan cara dan
bentuk perwujudan apa pun, (f) hak menggunakan ciptaannya sebagai bahan untuk
ciptaan, dan (g) hak membuat aransemen dan adapsi dari suatu ciptaan. Selain
hak-hak ekslusif di atas, Konvensi Bern juga mengatur sekumpulan hak yang dinamakan dengan hak-hak moral (moral
rights). Hak moral adalah hak pencipta untuk mengklaim sebagai pencipta atas
suatu hasil ciptaan dan hak pencipta untuk mengajukan keberatan-keberatan
terhadap setiap perbuatan yang bermaksud untuk mengubah, mengurangi atau
menambah keaslian ciptaan, yang akan dapat meragukan kehormatan dan reputasi
pencipta pertama. Hak moral seorang pencipta menurut pendapat A. Komen dan D.WS
Verkade mengandung empat makna. Pertama, hak untuk melakukan atau tidak
melakukan pengumuman ciptaannya. Kedua, hak untuk melakukan perubahan-perubahan
yang dianggap perlu atas ciptaannya, dan hak untuk menarik dari peredaran
ciptaan yang telah diumumkan kepada publik. Ketiga, hak untuk tidak menyetujui
dilakukannya perubahan-perubahan atas ciptaannya oleh pihak lain. Keempat, hak
untuk mencantum-kan nama pencipta, hak untuk tidak menyetujui setiap perubahan
atas nama pencipta yang akan dicantumkan, dan hak untuk mengumumkan sebagai
pihak pencipta setiap waktu yang diinginkan. Hak ini mempunyai kedudukan
sejajar dengan hak ekonomi yang dapat dimiliki seorang pencipta atas suatu
hasil ciptaannya.. UU No. 19 Tahun 2002 mengatur jenis-jenis perbuatan
pelanggaran dan ancaman hukumannya, baik secara perdata maupun pidana. UU ini
memuat sistem deklaratif (first to use system), yaitu perlindungan hukum hanya
diberikan kepada pemegang/pemakai pertama atas hak cipta. Apabila ada pihak
lain yang mengaku sebagai pihak yang berhak atas hak cipta, maka
pemegang/pemakai pertama harus membuktikan bahwa dia sebagai pemegang pemakai
pertama yang berhak atas hasil ciptaan tersebut. Sistem deklaratif ini tidak
mengharus-kan pendaftaran hak cipta, namun pendaftaran pada pihak yang berwenang
(cq Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Depkeh RI) merupakan bentuk perlindungan
yang dapat memberikan kepastian hukum atas suatu hak cipta. Perlindungan hukum terhadap hak cipta
merupakan suatu sistem hukum yang terdiri dari unsur-unsur sistem berikut. Pertama,
subyek perlindungan. Subyek yang dimaksud adalah pihak pemilik atau pemegang
hak cipta, aparat penegak hukum, pejabat pendaftaran dan pelanggar hukum.
Kedua, obyek perlindungan. Obyek yang dimaksud adalah semua jenis hak cipta
yang diatur dalam undang-undang. Ketiga, pendaftaran perlindungan. Hak cipta
yang dilindungi hanya yang sudah terdaftar dan dibuktikan pula dengan adanya
sertifikat pendaftaran, kecuali apabila undang-undang mengatur lain. Keempat,
jangka waktu. Jangka waktu adalah adanya hak cipta dilindungi oleh
undang-undang hak cipta, yakni selama hidup ditambah 50 tahun setelah pencipta
meninggal dunia. Kelima, tindakan hukum perlindungan. Apabila terbukti terjadi
pelanggaran hak cipta, maka pelanggar harus dihukum, baik secara perdata maupun
pidana. Adanya perubahan ini sebagai upaya pemerintah mengajak masyarakat untuk
menghargai dan menghormati HKI mengingat masalah pelanggaran hak cipta telah
menjadi bisnis ilegal yang merugikan para pencipta dan pemasukan pajak/devisa
negara di samping masyarakat internasional menuding Indonesia sebagai “surga”
bagi para pembajak. Aparat penyidik dalam pelanggaran hak cipta ditentukan
berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 dan peraturan perundang-undangan lain. Dalam
Pasal 1 butir 1 UU No. 8 Tahun 1981 tercantum dua penyidik yakni pejabat polisi
negara Republik Indonesia dan atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu.
Mereka bertugas bersama aparat negara tertentu yang diberi kewenangan oleh
undang-undang. Untuk menyelidiki apakah sudah terjadi suatu pelanggaran hak
cipta, maka Pasal 71 UU No. 19 Tahun 2002 mengatur tentang penyidik yang dapat
melakukan penegakan hukum. Menurut ketentuan pasal tersebut, pejabat pegawai
negeri sipil tertentu di lingkungan Departemen Kehakiman Republik Indonesia
dapat diberikan wewenang khusus sebagai penyidik seperti dimaksudkan dalam
Pasal 6 ayat 1 b UU No. 8 Tahun 1981, yakni “pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk bertugas
melakukan penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta. Mereka ini dapat
bertugas sebagai pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan wewenang
tertentu. Penyidik dalam Pasal 71 ayat (2) mempunyai wewenang melakukan
tindakan berupa:
-pemeriksaan
atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
hak cipta
-pemeriksaan
terhadap pihak atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
hak cipta
-meminta
keterangan dari pihak atau badan hukum sehubungan tindak pidana di bidang hak
cipta
-pemeriksaan
atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang hak cipta
-pemeriksaan di
tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan
dokumen lainnya
- melakukan
penyitaan bersama pihak kepolisian terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran
yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang hak cipta.
-meminta bantuan
ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang hak
cipta. Penyidikan oleh PPNS dilakukan setelah ada surat perintah tugas
penyidikan,
Dalam
melaksanakan tugasnya, PPNS mempunyai kewajiban dalam empat hal, yaitu:
-memberitahukan
kepada Penuntut Umum dan Penyidik Pejabat Polisi Negara tentang dimulainya
penyidikan;
-memberitahukan
kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara tentang perkembangan penyidikan yang
dilakukan;
-meminta
petunjuk dan bantuan penyidikan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara sesuai
dengan kebutuhan,
-memberitahukan
kepada Penuntut Umum dan Penyidik Pejabat Polisi Negara apabila penyidikan akan
dihentikan karena alasan tertentu yang dibenarkan oleh hukum. Keempat kewajiban
dari PPNS itu saling terkait dan terukur dalam rangka untuk mengungkapkan suatu
pelanggaran hak cipta di tanah air.
Semua kewajiban
di atas bagi PPNS menjadi dasar untuk melaksanakan tugasnya dalam melakukan
penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran hak cipta. Akan tetapi PPNS tidak
diberi kewajiban atau wewenang untuk melakukan penangkapan dan atau penahanan
berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 04. PW. 07. 03 Tahun 1988.
Tujuannya adalah agar tugas PPNS tidak tumpang tindih dengan tugas penegak
hukum kepolisian dalam rangka penyidikan pelanggaran hak cipta. Penyitaan
barang bukti yang dilakukan oleh PPNS wajib didasar-kan pada surat izin dari
Ketua Pengadilan Negeri di tempat terjadinya tindak pidana atau di tempat yang
banyak ditemukan barang bukti pelanggaran hak cipta. Permohonan surat izin
penyitaan harus diketahui oleh Kepala Kantor Departemen Kehakiman setempat dan
tembusannya dikirimkan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara. Berdasarkan
ketentuan UU No. 19 Tahun 2002, Penyidik Pejabat Polisi Negara dalam penyidikan
hak cipta lebih diutamakan atau dikedepankan pada penegakan hukum hak cipta,
sedangkan PPNS mempunyai kewenangan menyidik hanya karena lingkup tugas serta
tanggung jawabnya meliputi pada pembinaan terhadap hak cipta. Oleh karena itu,
penyampaian hasil penyidikan oleh Penyidik Pelanggaran Hak Cipta kepada
Penuntut Umum setelah memperoleh petunjuk yang diperlukan harus melalui
Penyidik Pejabat Polisi Negara sesuai dengan ketentuan Pasal 107 UU No. 8 Tahun
1981. Perlu diingat, walaupun mempunyai kewenangan menyidik dan menyita barang
bukti, PPNS tidak boleh melakukan penangkapan dan/atau penahanan, kecuali
tertangkap tangan (caught in the act). Dalam hal ini, PPNS boleh menangkap
tersangka tanpa surat perintah selama 1 (satu) hari dan segera menyerahkannya
kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara yang lebih berwenang. Ketentuan demikian
harus ditaati penyidik PPNS dalam pekedaannya mengusut pelanggaran hak cipta supaya
tidak ada tuduhan “pelanggaran hak asasi manusia” pada hak milik seseorang.
Pelanggaran hak cipta tidak semata-mata menonjolkan pada hak perdata pencipta
saja, juga pada kepentingan umum dan hak hak asasi orang yang dituduh telah
melakukan pelanggaran hukum terhadap hak cipta. Adanya peristiwa pelanggaran
hak cipta merupakan realitas sosial yang menjadi masalah bagi hukum perdata,
pidana dan administrasi. Pelanggaran hukum ini menjadi tugas aparat penegak
hukum menanggulanginya bekerja sama dengan instansi terkait mengingat setiap
pelanggaran hak cipta membawa kerugian yang sangat besar dalam pengembangan dan
kemajuan i1mu pengetahuan, teknologi, seni dan sastra dan secara ekonomis bagi
para pencipta, pemegang ijin, masyarakat konsumen dan pendapatan pajak negara.
Pemberian sanksi hukum bagi para pelanggar hak cipta merupakan upaya untuk
mencegah dan mengurangi meningkatnya kasus-kasus pelanggaran atas HKI, terutama
di Indonesia masih membutuhkan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap HKI.
Perbuatan menjiplak, mengkopi, meniru ataupun meng-gelapkan hasil karya orang
lain tanpa izin atau sesuai prosedur hukum akan tetap menjadi “pekerjaan rumah”
dari petugas penegak hukum dalam melindungi hak-hak para pencipta yang diatur
dalam UU Hak Cipta. Akibat pelanggaran itu, selain merugikan kepentingan para
pencipta atau pemegang izin, juga masyarakat konsumen dan negara dalam
penerimaan pajak/devisa. Pelanggaran hak cipta dapat dikategorikan sebagai
kejahatan ekonomi (economic crime) dan kejahatan bisnis (business crime). Di
sini amat dibutuhkan fungsionalisasi hukum pidana, yakni upaya untuk membuat
hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara
konkret yang melibatkan tiga faktor, yaitu faktor perundang-undangan,
aparat/badan penegak hukum dan kesadaran hukum masyarakat. Fungsionalisasi
hukum pidana didasarkan pada tujuan ekonomi dan penegakan hukum, yakni untuk
mengurangi seminimal mungkin biaya sosial (social cost) yang merugikan bagi
para korban akibat dari pelanggaran hukum tersebut. Robert Cooter dan Thomas
Ulen menegaskan dengan ungkapan, criminal law should minimize the social cost
of crime, which equals the sum of the harm it causes and the costs of
preventing it. Artinya, hukum pidana harus membayar biaya sosial kejahatan minimal
sama jumlahnya dari pelanggaran yang disebabkan pelanggaran itu dan biaya
pencegahannya. Biaya sosial yang harus dikeluarkan dalam rangka fungsionalisasi
hukum atas setiap pelanggaran hak cipta dapat berkurangnya apresiasi masyarakat
terhadap makna perlindungan hukum mana kala penegakan hukum vang dilakukan oleh
aparat penegak hukum tidak mencapai sasarannya untuk mengurangi kuantitas dan
kualitas pelanggaran hukum terhadap hak cipta. Biaya sosial tersebut terutama
akan dirasakan oleh para pencipta, karena merasakan tidak terlindungi
hak-haknya sebagai penemu atau pencipta. Hal ini akan merugikan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra karena para pencipta tidak
bergairah lagi untuk meningkatkan karya ciptanya.
(Sumandar,
Haris. , & Sitanggang, Sally. 2008 .
Mengenal Hak Kekayaan Intelektual . Esensi : Jakarta.
-Undang
undang yang mengatur Hak paten
Sedangkan hak
paten ini sendiri telah diatur dalam Undang-undang No. 6 tahun1989 yang telah
diperbaharuhi lagi menjadi UU No. 13 tahun 1997 dan UU No. 14 tahun 2001
tantang paten, undang-undang ini sering disebut dengan Undang-undang paten
Mengenai subjek
paten pasal 10 UU paten No. 14 tahun 2001 menyebutkan :
a. Yang berhak memperoleh paten adalah
inventor atau yang menerima lebih lanjut hak inventor yang bersangkutan.
b. Jika suatu invensi dihasilkan oleh beberapa
orang secara bersama-sama, hak atau invensi tersebut dimiliki secara
bersama-sama oleh para inventor yang bersangkutan.
Dalam pasal 11
UU No. 14 tahun 2001 disebutkan; “Kecuali terbukti lain, yang dianggap sebagai
inventor adalah seseorang atau beberapa orang yang untuk pertama kali
dinyatakan sebagi inventor dalam permohonan
Selanjutnya
dalam pasal 12 UU paten no. 14 tahun 2001 disebutkan:
a. Pihak yang berhak memperoleh paten atas
suatu invensi yang dihasilkan dalam suatu hubungan kerja adalah pihak yang
memberikan pkerjaan trsebut, kecuali diperjanjikan lain.
b. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (a)
juga berlaku terhadap invensi yang dihasilkan baik oleh karyawan maupun pekerja
yng menggunakan data atau sarana yang tersedia dalam pekerjaannya sekalipun
perjanjian tersebut tidang mengharuskannya untukmenghasilkan invensi
c. Inventor yang sebagaimana dimaksud pada ayat
(a) dan ayat (b) berhak mendapatkan imbalan yang layak dengan perhatian manfaat
ekonomi yang diproleh dari invensi tersebut.
d. Imbalan yang sebagaimana dimaksud pada
ayat pada ayat (c) dapat dibayarkan :
1) Dalam jumlah tertentu dan sekaligus
2) Persentase
3) Gabungan antara jumlah tertentu dam
sekaligus dengan hadiah atau bonus
4) Bentuk lain yang disepakati para pihak
yang besarnya
ditetapkan oleh pihak-pihak yahng bersangkutan
e. Dalam hal ini tidak terdapat kesesuaian
mengenai cara perhitungan dan penetapan besarnya imbalan, keputusan untuk itu
diberikan oleh Pengadilan Niaga.
f. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(a), ayat (b) dan ayat (c) sama sekali tidak mennghapuskan hak inventor untuk
tetap dicantumkan namnya dalam setifikat paten.
Mengenai hak dan
kewajiban pemgang paten pasal 16 UU no. 14 thun 2001 menyebutkan :
a. Pemegang paten memiliki hak eksklusif untuk
melaksanakan paten yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa
persetujuan :
1) Dalam hal paten produk : membuat, menggunakan,
menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan atau menyediakan untuk dijual atau
disewakan diserahkan produk yang diberi paten;
2) Dalam hal paten proses: menggunakan
proses produksi yang diberi paten untuk embuat barang dan tindakan lainnya
sebagaimana imaksud dalam point 1.
b. Dalam hal paten proses, laranganpihak lain
yang tanpa persetujuanny melakukan sebagaimana impor sebagimana dimaksud pada
ayat (a) hanya berlaku terhadap impor produk yang semata-mata dihasilkan dari
penggunaan paten proses yang dimilikinya.
c. Disualikan dari ketentuan sebagaimana
imaksud pada ayat (a) dan ayat (b) apabila pemakaian paten itu untuk
kepentingan pendidikan, penelitian percobaan atau sepanjang tidak merugikan
kepntingan yang waja dari pemegang paten.
Pemegang paten
oleh UU, juga dibebani kewajiban. Kewajiban pemegang paten menurut pasal 17 UU
no. 14 tahun 2001 adalah:
a. Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam
pasal 16 ayat (1), pemegang paten wajib membuat produk atau menggunkan proses
yang diberi paten di Indonesia.
b. Dikecualikan dari kewajiban sebagimana
dimaksud pada ayat (a) apabila pmbuatan produk atau penggunan proses tersebut
hanya layak bila dilakuakn secara regional.
c. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat
(b) hanya dapat disetujui oleh direktorat jendral apabil apemgang paten telah
mngajukan permoonan trtilus dengan disertai alasan dan bukti yang diberikan
oleh instansi yang berwenang.
d. Syarat-syarat
mengenai pengecualian dan tata cara pengajuan permohonan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (c) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
( Saidin,H.OK,
2004., Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Cet. IV, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.)
TULISAN 3
3. Konvensi Hak
Cipta Universal atau Universal Copyright Convention adalah persetujuan yang
mengatur hak cipta internasional yang ditandatangani di Jenewa pada 6 September
1952 Konvensi ini diselenggarakan di bawah naungan United Nations Educational
Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan dilakukan atas dasar yang sama
dengan Konvensi Bern
Beberapa negara
tidak setuju dengan ketentuan di dalam Konvensi Bern dan tidak siap untuk
melaksanakan persyaratan yang ada dalam konvensi tersebut. Amerika Serikat yang
saat itu hanya memberikan perlindungan dalam jangka pendek melalui Library of
Congress diharuskan mencantumkan simbol hak cipta (©) di setiap karya yang
dibuat. Hal ini membuat Amerika Serikat harus membuat perubahan agar bisa
mentaati Konvensi Bern. Amerika Serikat
akhirnya menandatangani konvensi tersebut pada tahun 1989. Akan tetapi,
ketentuan mengenai hak cipta ini hanya berlaku bagi negara-negara yang terlibat
dalam konvensi tersebut. Oleh karena
itu, Konvensi Hak Cipta Universal ingin memberikan perlindungan bagi negara-negara
yang terlibat maupun tidak terlibat dalam konvensi Bern
( Wikipedia.
Konvensi Hak Cipta Universal.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Hak_Cipta_Universal)
0 comments:
Post a Comment